UN kebijakan manusiawi atau Tidak ?
UN kebijakan manusiawi atau Tidak ?
Oleh : Merri Sri
Hartati
“Jangan
menilai ikan dari cara ia memanjat pohon,
jika demikian
ikan tersebut akan merasa bodoh seumur hidupnya “
(Albert Einstein)
“ Padi tidak akan pernah dapat menghasilkan gandum”
(Ki Hajar Dewantara)
Manusia adalah makhluk hidup yang paling dinamis di muka
bumi ini, selalu menciptakan hal-hal yang baru serta belajar pula hal-hal yang
baru. Dalam pandangan agama Islam, manusia diciptakan dengan tujuan yang begitu
luar biasa, menjadi Khalifatullah (Wakil Tuhan) diatas muka bumi ini. Dalam
pandangan Kristen, manusia adalah citra Tuhan di muka bumi ini. Setidaknya
semua agama bersepakat bahwa manusia diciptakan dengan sebuah tujuan yang
besar, bukan sebuah kebetulan tanpa tujuan dan tanpa arah. Maka sejatinya
pendidikan adalah sarana untuk mengarahkan manusia menjadi khalifatullah
ataupun citra Tuhan yang baik di muka bumi ini. Atau secara ringkasnya tujuan
pendidikan harus sejalur dengan tujuan penciptaan manusia di muka bumi.
Kita manusia yang beriman pasti tahu bahwa Tuhan yang
kita sembah apapun namanya adalah suatu entitas yang Maha Sempurna dan ia tidak
pernah menciptakan sebuah produk gagal. Sesuatu yang kita pandang sebagai
sebuah kegagalan atas ciptaan-Nya adalah kegagalan kita dalam memahami produk
ciptaannya. Maka jika kita berangkat dari premis ini dapat disimpulkan bahwa
tidak ada anak yang bodoh. Hal ini disetujui oleh ilmuwan besar abad ini,
Albert Einstein. Setiap anak cerdas, namun kitalah yang bodoh untuk menemukan
dan memunculkan kecerdasan mereka.
Howard Gadner, seorang sarjana dari Harvard university
menyatakan bahwa manusia memiliki banyak kecerdasan dalam dirinya. Setidaknya
ada delapan kecerdasan yang ia tuliskan diantaranya adalah : kecerdasan bahasa,
kecerdasan musik, kecerdasan intra-personal, inter-personal, kecerdasan
kinetik, kecerdasan sosial, self inteligence dan kecerdasan visual. Ketika kita
bertanya mana yang lebih pintar Erwin Gutawa atau Habibie ? maka kita akan
menjawab Habibie lebih pintar daripada Erwin Gutawa. Mengapa ? karena mindset kita dari zaman dulu sudah
terbentuk seorang yang pintar adalah orang yang ahli dalam matematika dan
logika. Padahal kita tahu Erwin Gutawa juga cerdas namun dalam bidang yang
berbeda dengan Habibi yaitu musik.
Celakanya inilah yang diadopsi oleh pengambil kebijakan
kita dalam bidang pendidikan dengan penyelenggaraan Ujian Nasional. Beberapa
pelajaran dijadikan tolak ukur manusia itu sukses atau tidak, bodoh atau tidak,
gagal atau tidak. Tentu saja ini tidak fair.
Hal ini mengakibatkan mata pelajaran yang di UN kan mendapatkan porsi atau
jam pelajaran yang besar. Sedangkan mata pelajaran seperti Seni dan Prakarya
hanya mendapatkan jam pembelajaran yang sedikit sekali. Anak dijejali dengan
berbagai macam ragam ilmu yang mungkin ia tidak tahu untuk apa ilmu ini di masa
depan, dijejali dengan berbagai macam ragam teori seolah teori yang ia hafalkan
itulah yang menjadi penentu masa depannya. Di sisi lain kita abai dengan hal
yang paling urgen dalam pendidikan
kita yaitu karakter. Karakter inilah yang lebih banyak menentukan sukses
ataukah tidak anak didik kita selepas ia menjalani pendidikan nanti, bukan
berapa banyak ilmu yang dihafalkannya yang kemudian lenyap tak berbekas.
Maka penting sekali sebenarnya merenung kembali tentang
pendidikan di Indonesia bukan dari UN nya justru dari hulu segala masalah yaitu
apa hakikat pendidikan di Indonesia. Percayalah, dari buku setebal ratusan
jilid yang ditulis oleh Ki Hajar Dewantara tidak akan kita temukan ukuran
kesuksesan pendidikan adalah akademik belaka. Sebaliknya Ki Hajar lebih
menekankan pada penanaman karakter siswa yang baik berbasis pada kearifan
budaya ? jika bukan Ki Hajar yang kita ikuti dan kita dapuk sebagai Bapak
pendidikan bangsa ini sesungguhnya siapa yang kita ikuti ?
Pemerintah
mengadakan UN setidaknya dengan berbagai macam alasan. Diantaranya adalah : (1)
mengukur pencapaian hasil belajar siswa, (2) mengukur mutu pendidikan di
tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota, dan sekolah, dan (3)
mempertanggungjawabkan penyelenggaran pendidikan secara nasional, provinsi,
kabupaten/kota, sekolah, kepada masyarakat. (Kartowagiran, 2005 : 8). Dalam PP.
no. 19/2005, Pasal 68 disebutkan bahwa hasil ujian nasional digunakan sebagai
salah satu pertimbangan untuk: (i) pemetaan mutu program dan/satuan pendidikan
(ii) dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya, (iii) penentuan
kelulusan peserta didik dari program dan/atau satuan pendidikan, dan (iv)
pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upayanya untuk meningkatkan
mutu pendidikan.(Asiah & Ainur
Rofiq, 2011 : 76).
Secara
garis besar kebijakan mengenai Ujian Nasional, tertuang dalam
peraturan-peraturan berikut ini :
1.
Keputusan
Mendiknas Nomor 012/U/2002 tentang Sistem Penilaian di Sekolah Dasar, Sekolah Dasar
Luar Biasa, Sekolah Luar Biasa Tingkat Dasar, dan Madrasah Ibtidaiyah pasal 3
ayat (1) menyebutkan bahwa jenis penilaian di sekolah terdiri dari penilaian
kelas dan ujian. Dalam ayat (3) disebutkan bahwa penilaian dilakukan melalui
tes tertulis, tes lisan, tes perbuatan/praktek, pemberian tugas, dan kumpulan
hasil kerja siswa (portfolio). Selanjutnya dalam ayat (4) pasal 3 itu juga
dijelaskan bahwa penilaian kelas dan ujian meliputi aspek kognitif, afektif,
dan psikomotorik.
2.
Dalam ayat (2)
pasal 58 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
disebutkan 4 bahwa evaluasi peserta didik, satuan pendidikan, dan program
pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri secara berkala, menyeluruh,
transparan, dan sistematik untuk menilai pencapaian standar nasional
pendidikan.
3.
ayat (3) pasal 3
Kep. Mendiknas Nomor 012/U/2002 yang menyatakan : Penilaian dilakukan
melalui tes tertulis, tes lisan, tes perbuatan/praktek, pemberian tugas, dan
kumpulan hasil kerja siswa (portfolio).
4.
ayat (1) pasal
58 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
disebutkan bahwa Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik
untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik
secara berkesinambungan. (Kartowagiran, 2005 : 3-4)
Ciri-ciri yang harus dimiliki setiap
kebijakan, menurut Terry adalah bahwa setiap kebijakan yang ditetapkan
haruslah:
a)
Jelas rumusan
dan batasbatasnya (clarity);
b)
Luwes dalam penggunaan (flexibility),
namun tidak melanggar prinsip;
c)
Konsisten (consistency),
konsekuen, tidak berubah-ubah;
d)
Individualitas (individuality),
Dalam arti setiap kebijakan hanya untuk memecahkan masalah tertentu saja.
(Terry , 1963 : 187)
Kebijakan
pemerintah merupakan suatu kerangka yang di dalamnya terdiri dari keputusan-keputusan.
Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah kalau perlu dalam pelaksanaannya dapat
dipaksakan. Adapun proses analisis kebijakan dilakukan secara bertahap melalui:
a. Perumusan
kebijakan (policy formulation)
b. Pelaksanaan
kebijakan (policyiimplementation)
c. Penilaian
kebijakan (policy evaluation)
d. Pengakhiran
kebijakan ( Ibnu Syamsi dalam Asiah dan Asiah & Ainur Rofiq, 2011 : 79)
Dalam
Studi Analisis Kebijakan Publik, maka salah satu cabang bidang kajiannya adalah
Evaluasi Kebijakan. Mengapa Evaluasi Kebijakan dilakukan, karena pada dasarnya
setiap kebijakan negara (public policy) mengandung resiko untuk
mengalami kegagalan. Abdul Wahab mengutip pendapat Hogwood dan Gunn (1986),
selanjutnya menjelaskan bahwa penyebab dari kegagalan suatu kebijakan (policy
failure) dapat dibagi menjadi 2 kategori, yaitu: (1) karena “non
implementation” (tidak terimplementasi), dan (2) karena “unsuccessful”
(implementasi yang tidak berhasil). (Wahab, 1990 : 47-48)
Tidak
terimplementasikannya suatu kebijakan itu berarti bahwa kebijakan itu tidak
dilaksanakan sesuai dengan yang direncanakan. Sedangkan implementasi yang tidak
berhasil biasanya terjadi bila suatu kebijakan tertentu telah dilaksanakan
sudah sesuai rencana, dengan mengingat kondisi eksternal ternyata sangat tidak
menguntungkan, maka kebijakan pendidkan tersebut tidak dapat berhasil dalam
mewujudkan dampak atau hasil akhir yang telah dikehendaki. Biasanya kebijakan
yang memiliki resiko untuk gagal disebabkan oleh faktor-faktor diantaranya:
pelaksanaannya jelek (bad execution), kebijakannya sendiri itu memang
jelek (bad policy) atau kebijakan itu sendiri yang bernasib kurang baik
(bad luck). Adapun telaah mengenai dampak atau evalausi kebijakan
adalah, dimaksudkan untuk mengkaji akibatakibat dari suatu kebijakan atau
dengan kata lain untuk mencari jawaban apa yang terjadi sebagai akibat dari
pada “implementasi kebijakan”. (Wahab, 1990 : 62)
Dalam
hal Ujian Nasional (UN), pemerintah secara tekhnis memandang dari angka – angka
yang disodorkan dan hanya berfokus pada input data yang masuk mengenai hasil
Ujian Nasional. Namun pemerintah seringkali abai dengan melihat proses menuju
Ujian Nasional, sehingga Ujian Nasional dipandang sebagai titik puncak
pendidikan yang menentukan sukses atau tidak anak didik. Padahal tujuan sesungguhnya adalah evaluasi
pendidikan secara menyeluruh termasuk dalam tahap proses. Kebijakan UN
memberikan pressure terhadap
kementerian Pendidikan Nasional yang kemudian berimbas pada Diknas kota, kepala
sekolah dan berakhir pada guru. Hal ini terlihat dari kecurangan-kecurangan
yang terjadi di lapangan dimana menyebarnya kunci Ujian Nasional serta
munculnya tim “pensuksesan” Ujian Nasional di masing-masing sekolah. Di sisi
lain, guru melakukan pengkatrolan nilai raport siswa yang jelas-jelas hal ini
merupakan perbuatan yang tidak fair.
Jadilah Ujian Nasional yang awalnya merupakan evaluasi pendidikan berubah
menjadi semacam pressure “harus
sukses dengan cara apapun”. Belum lagi pelaksanaan Ujian Nasional yang
bermasalah. Data mencatat di tahun 2014 pelaksanaan UN terkesan amburadul.
Dimana soal Ujian Nasional terlambat dan kurang bahkan ada yang di foto Copy.
Hal ini menyebabkan beredar luasnya kunci jawaban di tengah-tengah para siswa (
Rahmadi, 2014 : 3).
Dari
Keputusan Mendiknas Nomor 012/U/2002 pasal 3 ayat 1 dinyatakan bahwa penilaian
tidak hanya berfokus pada ranah kognitif semata namun juga penilaian
berdasarkan psikomotor dan afektif. Namun, bentuk tes adalah tes tertulis, tes
lisan, tes perbuatan/praktek, pemberian tugas, dan kumpulan hasil kerja siswa
(portfolio). Bisakah penilaian afektif diberikan berupa angka-angka ?. Maka
menurut penulis terjadilah semacam paradoks. Dus, kenyataannya pun yang penulis
temui di lapangan, guru lebih menguji kemampuan kognitif siswa daripada afektif
siswa.
Salah
satu masalah dari Ujian Nasional adalah standarisasi pendidikan. UN tidak akan
pernah ideal jika proses pembelajaran juga tidak ideal ( Rahmadi, 2014 : 1).
Kondisi pendidikan di jakarta berbeda dengan kondisi pendidikan di Bengkulu,
baik di tingkat sarana dan prasarana, kualitas guru dan proses pembelajaran
yang berlangsung. Dengan kondisi seperti ini apakah akan disamakan
standarisasinya ? Lalu jika UN dinilai mampu untuk memetakan kualitas
pendidikan di Indonesia, apakah ia mampu pula memetakan karakter siswa (ranah
afektif) ? bukankah berita kriminal yang dilakukan oleh para pelajar kita lebih
layak dipercaya sebagai tolak ukur kegagalan pendidikan karakter kita daripada
Ujian Nasional ?
Dari
uraian di atas dapat dijabarkan beberapa hal diantaranya adalah :
1.
Permasalahan
yang lebih besar dari permasalahan UN adalah masalah pendidikan di Indonesia, mau dibawa
kemana dan hendak kemana. Penulis beranggapan bahwa ada dua hal pokok yang
menjadi permasalahan penting yang perlu dijawab oleh pendidikan kita. Pertama , masalah karakter yang semakin
lama semakin tergerus dan yang kedua,
adalah masalah pengangguran terdidik yang angkanya semakin membengkak. Di
wilayah provinsi Bengkulu sendiri tercatat pada tahun 2012 pengangguran terdidik
(Sarjana ) tercatat 3.600 Jiwa. Hal ini makin membengkak saat memasuki tahun
2015 dengan jumlah 11.500 jiwa dan agustus 2016 tercatat sebanyak 11.994 jiwa
(Rakyat Bengkulu, jum’at 18 November 2016 hal 1). Untuk mengurangi angka
pengangguran, tidak bisa kita hanya sekedar menyiapkan tenaga kerja siap pakai.
Jauh lebih dari itu, perlu dicetak wirausahaawan-wirausahawan muda yang membuka
lapangan pekerjaan. Sayangnya pendidikan kita amat minim menyiapkan itu semua.
2.
Untuk mengatasi
kesenjangan pendidikan antar daerah, perlu
klusterisasi pelaksanaan UN berdasarkan tingkat deliverance (penyampaian
materi), ketersediaan sarana penunjang, dan indeks pembangunan manusia (IPM)
daerah tersebut.
3.
Jika pelaksanaan
UN menjadi momok bagi jatuhnya karakter dan mental kepala sekolah, guru, siswa
salah satunya karakter jujur, maka sudah sepantasnya UN dicabut pelaksanaannya
digantikan dengan Ujian Sekolah Berbasis Nasional. Perlu ditegaskan bahwa
pembentukan karakter lebih diutamakan daripada kemampuan kognitif dan pengetahuan
siswa.
Referensi
Asiah,
Siti dan Ainur Rofiq. Analisis
kebijakan ujian nasional tingkat sekolah menengah kejuruan (SMK). edukasi, 76 Vol. 3, No. 1, Maret
2011: 75 – 92
Chatib,
Munif. 2011. Gurunya Manusia, Menjadikan
Semua Anak Istimewa dan Semua Anak Juara. Bandung : Kaifa
Kartowagiran, Badrun. 2005. analisis
kritis terhadap kebijakan pemerintah
dalam bidang evaluasi hasil belajar. Makalah untuk Dinamika
Rahmadi,
Anton. 2014. Ujian Nasional : Sebuah
Kebijakan yang tidak bijak. Makalah tidak diterbitkan
0 comments